Jumat, 30 Juni 2017

Nilai-Nilai Trilogi IMM, Alat Pembentuk Kader Berkarakter



Ahsan M. Ay | Yogyakarta

 

PK IMM MIPA dan JPMIPA 2015

 


               Menjadi kader yang berkarakter merupakan visi dari sebuah organisasi mahasiswa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yaitu dengan penerapan nilai-nilai trilogi (religiusitas, intelektualitas, humanitas). Dalam menapaki kehidupan bermasyarakat, peran IMM diuji dengan beberapa interaksi antara kader dengan masyarakat setempat, peran IMM dimata masyarakat terlihat dari bagaimana para kader-kader IMM bergaul dan bersikap baik kepada masyarakat. Sebuah organisasi yang menghasilkan kader yang berkarakter dalam masyarakat tertentu  merupakan hasil dari pengembangan karakter dengan berbagai konteks, baik dari gerakan organisasi tersebut maupun dari pengalaman individu menemukan hal baru ketika bermasyarakat.
            Penerapan nilai-nilai trilogi IMM (religiusitas, intelektualitas, humanitas) perlu dibentuk dari dalam diri setiap kader sebelum kader terjun ke masyarakat. nilai-nilai tersebut menjadi tolak ukur seorang kader dalam kehidupan sehari-harinya dalam 24 jam, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Karena demi terwujudnya kader ikatan yang berkarakter menurut nilai-nilai IMM tersebut, seorang kader terlebih dahulu mengerti makna nilai-nilai trilogi sebagai kunci dari terwujudnya kader yang berkarakter. Pertama, nilai religiusitas yang berarti pengabdian kepada Tuhan. Kader dalam kesehariannya mampu menggerakkan diri untuk berbuat kebaikan, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan sebagai bentuk pengabdiannya. Dengan nilai religiusitas ini juga, kader dapat kebaikan dari masyarakat  karena kader mampu mengorientasikan sikap bermasyarakat itu sendiri. Kedua, nilai intelektualitas yang berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari, kader mampu berpikir cerdas dan kreatif menjalani waktu-waktu yang ia gunakan untuk mengembangkan  diri menjadi kader yang berkarakter, seperti pentingnya mengatur waktu dan mampu menyelesaikan permasalahan pribadi maupun kelompok. Ketika dalam suatu masyarakat, kader yang menerapkan nilai intelektualitas dijadikan sebagai pemecah masalah segala konflik atau permasalahan masyarakat yang lain, karena kader ini mampu memilih dengan penuh pertimbangan dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan yang ia telaah. Ketiga, nilai humanitas yang berarti berperikemanusiaan atau bersifat Manusiawi. Masyarakat berperan dalam pengembangan diri kader mejadi kader yang berkarakter. Karena pada nilai ini, kepribadian kader diuji melalui kejadian-kejadian yang ada di lingkungan masyarakat. Kehidupan sosial seperti ini membutuhkan nilai humanitas untuk menjaga keselarasan atau kerukunan bermasyarakat dengan kepribadian yang luhur, budi pekerti yang baik, dan mengetahui tata cara hidup berkelompok.
            Suatu organisasi mampu menghasilkan kader yang berkarakter apabila meninggalkan jejak kakinya setelah ia melewati suatu jalan. Artinya, organisasi yang berhasil adalah organisasi yang kehadirannya ditunggu masyarakat dan kepergiannya selalu dikenang banyak orang. Apabila Kader IMM menerapkan nilai-nilai trilogi (religiusitas, intelektualitas, humanitas) ini, maka IMM menjadi organisasi yang berhasil.

Rabu, 21 Juni 2017

Jalan Dakwah ini Berliku

Muhammad Ainul Yaqin Ahsan | Yogyakarta



Gambar ilustrasi Jalan Dakwah

Pada suatu kesempatan para sahabat Rasulullah Saw menghadap beliau, kala itu dikota makkah. Ketika beban-beban didalam hidup dan perjuangan mereka terasa semakin menyesakkan. Ketika risalah yang agung dan berat telah Allah SWT gambarkan kalau diturunkan kepada gunung niscaya gunung itu akan hancur berantakan karena takut kepada Allah SWT. Bagaimana permusuhan yang dikobarkan oleh orang-orang Quraish, sambitan Uqbah bin Abi Mua’id, lemparan batu Nadhar bin Harrits, kata-kata keji dari lisan Abu Lahab, dan penyiksaan datang dari Abu Jahal dan kawan-kawannya yang membebani kaum muslimin dan jiwa mereka terasa sempit. Maka para sahabat menghadap Nabi SAW dan berkata:
            Ya Rasulullah, tidakkah engkau bercerita untuk meringankan hati kami?”

Demikian ini diceritakan oleh Saad bin Abi Waqqas ra dan Abdullah bin Abbas ra seperti dikutib oleh al-Imam As Suyuti dalam libabun nuqul fii asbabin nuzul. Maka Allah SWT atas permintaan para sahabat menurunkan firmannya yang mulia dan memulainya dengan kata-kata,


نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآَنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum Mengetahui”. (Q.S. Yusuf: 3)

Cerita itu tentang hidup yang penuh liku-liku. Cerita hidup yang dipenuhi oleh nilai-nilai pengabdian kepada Allah SWT dan bagaimana memberikan manfaat kepada umat, cerita itu adalah surat Yusuf. Ketika para sahabat berada di makkah merasakan berbagai tekanan dan penyiksaan yang dilakukan oleh orang-orang Quraish karena harus menegakkan tauhid laa ilaaha illa Allah. Mereka meminta kepada Nabi Saw untuk memberikan sebuah cerita atau kisah, maka Allah SWT memberikan cerita tentang Yusuf. 
Yaitu seorang anak yang disayang oleh orangtuanya tapi di dengki oleh para saudaranya, lalu dibuang kedalam sumur hingga ditemukan oleh kafilah dagang dan menjualnya dengan harga yang murah sebagai budak, lalu digoda oleh majikan dan difitnah oleh yang menggodanya, lalu dijadikan objek balas dendam karena sang penggoda di gosipkan orang dan dimasukkan kedalam penjara atas pilihannya sendiri, lalu berdakwah kepada kedua rekannya di penjara tapi dilupakan oleh rekan yang selamat dari penjara, lalu tampil menghadap sang raja ketika negara dalam keadaan genting dan menerima tugas untuk menyelamatkan negara dari kebangkrutan dan kelaparan, lalu menjadi seorang penjabat yang mengatur berbagai macam wewenang, lalu berjumpa dengan saudara-saudaranya yang datang dan menskenario agar saudaranya yang tersayang datang kepadanya, lalu menskenario lagi agar orang tuanya juga bergabung dan memaafkan saudara-saudaranya, lalu mencapai puncak cita-citanya dan berkata kepada Allah SWT: 


تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
    
“wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Q.S. Yusuf: 101)

Cerita ini, semestinya kita hayati dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim. Ketika setiap saat kita berkata “ihdinash shirathal mustaqiim” Ya Allah tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Dan jalan yang lurus itu adalah “shirathal ladzina an’amta ‘alaihim” jalan orang-orang yang diberi nikmat. Maka lurusnya kepada Allah SWT seperti kata Isa a.s,


إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۗ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus". (Q.S. Ali Imran: 51) 
Lurusnya kepada Allah SWT adapun hidup di dunia, dijalan yang lurus itu hidup yang paling indah. Kisah yang paling indah adalah kisah hidup yang berliku-liku sebab berjuang  fii sabilillah seperti Yusuf a.s.
Dan yang menakjubkan lagi, surat Yusuf ini menjelang akhir ditutup dengan sebuah perintah Allah Azza Wajalla kepada Rasulullah Saw untuk mengatakan di ayat yang ke 108,


قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” (Q.S. Yusuf: 108) 
Seakan-akan, setelah Allah menjelaskan bahwa sebaik-baik hidup adalah hidup yang berliku-liku. Sebaik-baik kisah adalah kisah yang penuh dengan tantangan dan hambatan tetapi juga hikmah, karunia, tamkin yang diberikan oleh Allah SWT. Hidup yang terbaik adalah hidup dengan nilai-nilai kebenaran di tengah masyarakat yang belum mengenal kebenaran, lalu mengenalkan kebenaran itu kepada mereka. Maka untuk mengikat semua makna itu Allah mengatakan kepada Rasul-Nya surat Yusuf ayat 108.

Ayat ini sebagai ikrar kebanggaan untuk kita yang ingin menjadi orang-orang yang setia dengan tulus bersama Rasulullah Saw.